Rabu, 26 Desember 2007

MBA( married by accident)

Pernikahan Dini Solusi Seks Pranikah?

”MAH, saya hamil,” ujar seorang remaja putri yang baru kelas 3 SLTP. Spontan sang ibu tersentak kaget, dan menghentikan kendaraannya. Dengan nada setengah tidak percaya, ia bertanya kepada putrinya, ”Ade bilang apa?” ujarnya dengan nada tinggi.

Pikiran ibu tiga anak ini langsung menerawang, membayangkan pergaulan putrinya dengan teman-teman sebayanya yang begitu intim. Ia juga sering pulang terlambat, dengan alasan susah kendaraan. Padahal mungkin saja itu hanya alasan untuk menutupi kegiatan luar sekolahnya, karena sempat kepergok tetangga ia sedang jalan-jalan dengan teman laki-lakinya. ”Pantas belakangan dia agak terlihat aneh,” gumamnya.

ITULAH sepenggal realitas sosial yang dihadapi masyarakat saat ini. Dorongan seksual remaja yang tinggi karena didorong oleh lingkungan yang mulai permisif dan nyaris tanpa batas. Pada akhirnya, secara fisik anak bisa lebih cepat matang dan dewasa, namun psikis, ekonomi, agama, sosial, maupun bentuk kemandirian lainnya belum tentu mampu membangun komunitas baru bernama keluarga.

Seperti diberitakan ”PR” sebelumnya (29/7), sedikitnya 38.288 remaja di Kabupaten Bandung diduga pernah berhubungan intim di luar nikah atau melakukan seks bebas. Jumlah ini berdasarkan hasil polling ”Sahabat Anak Remaja (Sahara) Indonesia Foundation” yang terungkap pada seminar dan lokakarya ”Kependudukan dan Kualitas Remaja” di Banjaran.

Hasil polling tersebut merupakan realitas kehidupan remaja di Kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil polling lewat telefon itu, 20% dari 1.000 remaja pernah melakukan seks bebas. Diperkirakan 5 sampai 7%-nya remaja pedesaan. Jumlah remaja di Kabupaten Bandung mencapai 765.762, sehingga diambil kesimpulan jumlah remaja yang melakukan seks bebas antara 38.288 hingga 53.603 orang. Hasil itu terjadi pada remaja di daerah perkotaan seperti Soreang, Banjaran, dll.

Dari hasil polling juga diketahui, sekira 200 remaja putri yang melakukan seks bebas, 50% atau 100 remaja hamil. Ironisnya, 90 dari 100 remaja yang hamil itu melakukan aborsi. Meski hasil itu belum mewakili remaja di Kabupaten Bandung, namun yang harus dicermati, fenomena seks bebas ini sangat memprihatinkan.

Bila dikaji lebih dalam lagi, fenomena ini akan beruntut pada masalah sosial lainnya. Sebut saja kehamilan yang tidak diinginkan/ ketidaksiapan pasutri untuk membentuk keluarga baru yang ujungnya berakhir dengan perceraian, tindak kriminal aborsi, risiko PMS (penyakit menular seks), serta perilaku a-sosial lainnya. Tidak menutup kemungkinan pekerja seksual juga muncul dari ”budaya kebablasan” ini.

Temuan lain sebuah survei yang dilakukan LDFEUI & NFPCB tahun 1999, terhadap 8.084 remaja putra dan putri usia 15-24 tahun di 20 kabupaten di empat provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung) menemukan 46,2% remaja masih menganggap perempuan tidak akan hamil hanya dengan sekali melakukan hubungan seks. Kesalahan persepsi ini lebih banyak diyakini remaja putra (49,7%) dibandingkan remaja putri (42,3%).

Dari survei yang sama didapatkan, hanya 19,2% remaja yang menyadari peningkatan risiko untuk tertular PMS bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 51% mengira mereka akan berisiko tertular HIV hanya bila berhubungan seks dengan pekerja seks komersial (PSK).

**

KIAN maraknya seks bebas di kalangan remaja dan dewasa muda, maupun meningkatnya angka aborsi setidaknya menjadi indikator tingkat pergaulan bebas sudah berada pada tahap mengkhawatirkan dan harus segera dipikirkan solusinya.

Salah satu jalan, walaupun bukan yang mutlak adalah menikahkan pasangan remaja di usia dini. Artinya, bagi mereka yang telah mantap dengan pasangannya, minimal berpenghasilan atau mempunyai usaha untuk keluarganya, dianjurkan untuk segera meresmikannya dalam sebuah ikatan pernikahan. Sekalipun keduanya masih menempuh pendidikan atau di bawah usia ideal.

”Hal ini untuk menghindari dampak buruk dari keintiman hubungan lawan jenis,” kata Djuariah Utja.

Pendapat tersebut mungkin ada benarnya. Namun bukankah pernikahan itu tidak hanya sekadar ijab qabul, dan menghalalkan yang haram. Melainkan kesiapan moril dan materil untuk mengarungi dan berbagi apapun kepada pasangan tercinta. Jadi bagaimana akan menikah di usia muda bila bekal (moril maupun materil) belum cukup?

”Memang, dalam Islam dianjurkan untuk memudahkan urusan pernikahan dan menghambat perceraian. Namun, bukan berarti pernikahan dimudah-mudahkan, tanpa ada syarat dan ketentuan yang jelas. Untuk itu perlu adanya lembaga bimbingan bagi pasangan yang ingin segera cepat menikah,” kata Mimin Aminah, narasumber konsultasi keluarga sakinah yang biasa mengudara di MQ FM ini.

Hal itu harus disadari, lanjutnya, jangan sampai seseorang menikah karena alasan seksual semata, sebab menikah itu harus benar-benar dengan persiapan ilmu, iman dan amal saleh.

Artinya bukan ”indahnya-indahnya” yang dikedepankan, tetapi apakah pernikahan itu punya visi dan misi yang jelas? Kalau menikah di usia dini dengan modal takut terjerembab, apa iya bisa nyelesaikan masalah?

”Pernikahan harus dilakukan dengan landasan Islam dan ilmu yang memadai. Makanya, siapkan segalanya sejak dini, kalau sudah mulai baligh harus mulai mandiri. Rasul saja belajar dagang dari usia 12 tahun dan matang ketika usia 25 tahun. Kita banyak yang terlambat, 25 tahun baru bisa mandiri,” katanya.

Walaupun Rasul mencontohkan dengan menikah di usia 25 tahun, namun jangan usianya yang dilihat, akan tetapi lihat tingkat kematangan dan kemampuannya bertanggunjawab pada lawan jenisnya.

”Nikah sambil sekolah atau kerja sambil sekolah kan tidak buruk? Di sinilah orang tua harus mengajarkan anak supaya bisa mandiri di usia baligh. Jangan hanya terus sekolah tanpa kemandirian. Jadinya sahwat udah ke mana, kemandirian belum ada, kan bahaya? Mari kita siapkan generasi yang cerdas, mandiri, dan berani pada usia yang dini (baligh),” sambung Djuariah Utja.

Selama ini, lanjutnya, masyarakat masih terjebak oleh ”keharusan” bekerja di kantoran. Padahal siapapun bisa berusaha dan berpenghasilan tanpa terikat oleh rutinitas perkantoran.

Selain pernikahan dini, kata Djudju, menghindari seks pranikah di kalangan remaja dan dewasa muda juga bisa ditempuh dengan cara lain. Sebut saja dengan pendidikan seksual yang sehat dan bertanggung jawab, pemahaman alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan setelah pernikahan —bukan untuk pasangan yang belum menikah—, pembatasan dan social control dalam pergaulan laki-laki perempuan yang harus diperketat lagi oleh keluarga dan masyarakat.

Budaya Sunda juga memiliki perangkat yang bisa membentengi bila benar-benar ditumbuhkan kembali. Sebut saja budaya numas —membagi-bagikan daging setelah mendapat kabar dari keluarga laki-laki bahwa istrinya masih gadis. Budaya ini salah satu cara untuk mengedepankan lagi pentingnya virginitas yang harus dijaga hingga memasuki gerbang pernikahan.

”Pernikahan dini harus dipandang buruk dan berisiko, tapi bila kekhawatiran lebih tinggi dan tidak ada solusi yang lebih baik, asalkan mau bertanggung jawab, ditunjukan dengan bisa mandiri dan berpenghasilan, sah-sah saja dilakukan,” kata Djudju.

Orang tua harusnya bangga bila anak perempuannya cepat matang dan siap nikah. Itu tandanya ia bisa mendidik dengan baik. Ada yang melamar berarti ada yang berminat (laku, red).